Suasana di Lapangan Futsal Ole-Ole,
Jalan Raya Ngagel, pada 4 tahun yang lalu, atau lebih tepatnya pada tanggal 25 Oktober 2010, lebih meriah dari biasanya.
Puluhan orang dengan serius melakukan gerakan empet-empet anus ala Ling
Tien Kung seperti biasanya. Namun, usai senam, para peserta bertepuk
tangan dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
Yang
berbahagia hari itu ternyata Fu Long Swie. Penemu senam terapi Ling Tien
Kung ini genap berusia 75 tahun. “Terima kasih! Terima kasih! Semoga
bapak-bapak dan ibu-ibu juga tetap sehat dan berumur panjang,” ujar Fu
Long Swie sambil terseyum lebar.Melihat penampilan fisiknya, kebanyakan orang tak percaya kalau mantan
atlet lari 100 meter dan lompat jauh pada era 1960-an ini sudah berusia
75 tahun. Gerakan-gerakannya masih lincah. Suaranya tegas dan keras. Fu
tak segan-segan memarahi peserta yang kurang serius melakukan
gerakan-gerakan Ling Tien Kung.
“Percuma Anda datang ke sini
kalau tidak serius. Empet-empet anus yang benar. Badan saudara supaya
jangan dimanja. Kalau kalian mau sehat, kalian harus melakukan
gerakan-gerakan dengan benar,” tegas Fu Long Swie yang akrab disapa
Laoshi alias guru ini.
Di usia kepala tujuh, gigi-gigi Fu Laoshi
juga masih utuh. Bahkan, secara bercanda, dia kerap menantang peserta
yang masih berusia 30-an tahun untuk lomba lari. Tentu saja, tak ada
yang berani melawan mantan atlet juara nasional yang tetap awat muda
itu.
“Sekarang ini saya merasa jauh lebih muda dari usia saya yang sudah 75 tahun,” kata Fu Long Swie kepada saya.
Apa
rahasianya? “Rahasinya karena saya bisa meremajakan diri. Saya
menemukan rahasia awet muda itu dengan Ling Tien Kung. Itu merupakan
penemuan yang saya sendiri pun hampir tidak percaya,” katanya serius.
Kemarin,
usai memimpin latihan Ling Tien Kung di Jalan Ngagel, Fu Long Swie
langsung berangkat ke Kediri dan Tulungagung. Di sana ratusan praktisi
Ling Tien Kung sudah menunggu kedatangannya. Fu akan memimpin langsung
latihan bersama di dua kota itu, menyampaikan filosofi, visi-misi Ling
Tien Kung, sambil mengoreksi gerakan-gerakan yang dianggap kurang pas.
“Saya
juga akan mewisuda 40 instruktur Ling Tien Kung di Tulungagung. Jadi,
saya ini nggak pernah nganggur di rumah. Ada saja undangan baik dari
dalam kota, luar kota, bahkan luar Jawa,” ujar sang guru yang hobi
membaca buku-buku klasik Tiongkok itu.
Fu mengaku bersyukur
karena Ling Tien Kung ini berkembang pesat meski baru diperkenalkan pada
2005. Ribuan orang mempraktikkannya setiap hari baik secara berkelompok
maupun sendiri-sendiri di rumah. Di Surabaya saja ada sedikitnya 50
titik yang menyelenggarakan Ling Tien Kung.
“Saya selalu bilang kalau Ling Tien Kung ini bukan senam, tapi terapi penyembuhan,” tegas Fu.
Fu
Long Swie sangat bersyukur karena Ling Tien Kung ini berkembang pesat
meski baru diperkenalkan pada 2005. Gerakan-gerakan terapi kesehatan ini
pun diminati di luar Pulau Jawa.
KINI, setelah lima
tahun, ribuan orang mempraktikkan Lien Tien Kung setiap hari baik secara
berkelompok maupun sendiri-sendiri di rumah. Di Surabaya saja ada
sedikitnya 50 titik yang menyelenggarakan Ling Tien Kung.
“Saya
selalu bilang kalau Ling Tien Kung ini bukan senam, tapi terapi
penyembuhan,” tegas Fu Long Swie. “Kalau Anda rajin mengikuti
gerakan-gerakan Ling Tien Kung, maka Anda akan mendapatkan begitu banyak
manfaat bagi kesehatan Anda. Saya sendiri membuktikannya,” tambah pria
yang suka humor, tapi 'sangat keras' di depan peserta Ling Tien Kung
ini.
Bagaimana bekas sprinter nasional pada era 1950-an dan
1960-an ini bisa menciptakan gerakan-gerakan terapi fisik yang kemudian
dikenal sebagai Ling Tien Kung? Menurut Fu, proses cukup panjang dan
melelahkan. Dus, bukan meniru gerakan-gerakan yang sudah ada atau
mendapat semacam wangsit dari atas.
“Saya mencari, mencari, dan
mencari selama kira-kira 20 tahun. Barulah saya dapatkan suatu solusi
yang kompleks dan abstrak, tapi sangat logis,” tegasnya.
Selama
20 tahun itu, kakek 10 cucu dan ayah lima anak ini menghabiskan masa
senjanya dengan membaca buku-buku tentang metode pengobatan kuno ala
Tiongkok, anatomi tubuh manusia, hingga buku-buku teks kedokteran.
Kebetulan Fu Laoshi ini memang sangat paham bahasa Tionghoa.
Nah,
salah satu buku yang menginspirasi Fu adalah buku Tao De Ching, sebuah
kitab klasik Tiongkok. Dalam salah satu bab buku tersebut dijelaskan
bahwa tubuh manusia sebenarnya punya energi yang tidak bisa habis dan
terus memperbarui diri. Sifat energi itu tidak berbentuk. “Yah, seperti
halnya nyawa yang terus menggerakkan jantung,” jelas Fu.
Dia
mengibaratkan sumber energi itu dengan aki (accu) yang menggerakkan
mobil. Sebagus apa pun mobilnya, jika akinya lemah, apalagi mati, maka
mobil tersebut tidak bisa digunakan. ‘Aki’ itulah yang menyuplai energi
ke seluruh tubuh manusia sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
“Nah,
aki di dalam tubuh kita terus mengendur karena usia yang makin tua.
Nah, supaya setrumnya tetap kencang, ya, harus di-charge. Caranya, ya,
dengan metode Ling Tien Kung,” papar suami Elia Bestari itu.
Masih
merujuk pada aki (accu), Fu Long Swie engatakan, energi yang tersimpan
di dalam tubuh manusia didapat dari kutub positif dan negatif. Jika ‘aki
alami’ itu dicas, maka tubuh secara otomatis meremajakan dirinya.
SALAH
satu temuan penting Fu Long Swie, yang selama diceramahkan di depan
peserta pelatihan Ling Tien Kung di mana pun, adalah letak kutub negatif
(katoda) dan positif (anoda) dalam tubuh manusia. Menurut Fu, kutub
positif manusia terdapat pada anus. Sedangkan kutub negatif terletak di
pusar.
Otot-otot di sekitar anus memegang peran penting sebagai
pengikat energi bidang kontak kutub tersebut. “Semakin tua, otot-otot
itu bakal mengendur. Apalagi, jika kita tidak pernah melatih organ
tersebut,” jelas Fu yang berusia 75 tahun ini.
Akibat lemahnya
otot itu, energi yang dibutuhkan manusia untuk menjalankan semua fungsi
organ menjadi drop. Makin tua usia manusia, energi kehidupan tersebut
terus melemah. Dari situlah sistem kekebalan tubuh mulai terganggu.
Terjadilah efek domino berupa masuknya berbagai penyakit. Sebab, kerja
organ tubuh memang tidak sesempurna ketika orang masih berusia muda.
“Orang-orang
yang tua itu dapat bonus macam-macam penyakit, mulai reumatik, pegal
linu, darah tinggi, jantung, kolesterol, ginjal, dan sebagainya. Tubuh
jadi rentan penyakit. Wong dia punya aki sudah nggak ada setrum. Gak ada
ampere,” tegas mantan juara nasional lari 100 meter pada era 1960-an
itu.
Berdasar analogi setrum aki itu, Fu Laoshi kemudian
menciptakan teknik melatih otot-otot anus yang diberi nama Ling Tien
Kung. Ling berarti nol, tien titik, dan kung ilmu. Jadi, Ling Tien Kung
ini sering juga disebut ‘ilmu titik nol’. Salah satu buku klasik
Tiongkok, Tao De Ching, menyenutkan bahwa tubuh manusia punya sumber
energi yang tak pernah padam. Kualitas darah, sirkulasi darah, pun bisa
diperbaiki dengan metode latihan yang baik dan benar.
“Energi
itulah yang kita oleh, kita cas, agar metabolisme di dalam tubuh kita
bisa tetap bekerja dengan baik,” ujar Fu yang masih terlihat gagah di
usia mendekati kepala delapan ini.
Fu Long Swie menggunakan
tubuhnya sendiri sebagai ‘kelinci percobaan’. Pada 1985 Fu menderita
sakit parah. Kondisi fisiknya drop, loyo, sehingga dia tak bisa
bepergian ke mana-mana.
Nah, berbekal referensi yang sudah
dibaca sebelumnya, Fu mengembangkan teknik latihan sederhana yang dia
sebut empet-empet anus. Seperti orang berusaha menahan BAB (buang air
besar) dalam waktu lama. Teknik ini dilakukan dalam beberapa macam
gerakan.
“Metodenya saya kembangkan dan akhirnya sempurna tahun
2003. Tapi saya mulai memperkenalkan kepada orang banyak tahun 2005,”
papar Fu seraya tersenyum.